eramuslim - “Maafkanlah, karena itu lebih mulia” Itulah salah satu pesan Rasulullah yang sangat terkenal. Membalas perlakuan tak adil dan kezhaliman dari seseorang, tidak dilarang. Namun tentu ada alasan yang sangat khusus mengapa Rasul menganjurkan ummatnya untuk memberikan maaf kepada orang zhalim.
Mari kita lihat ulang soal maaf memaafkan ini. Perintah Allah berkenaan dengan “maaf” ini termaktub dalam Qur’an Surat Ali Imran ayat 134: “... dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang”. Menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain, merupakan dua dari ciri orang yang bertaqwa. Nampaknya seperti sesuatu hal yang sangat sepele, dan tak sedikit orang yang menganggap itu sebagai hal biasa yang teramat mudah. Padahal, sungguh teramat berat untuk bisa melakukannya, jika bukan karena seseorang itu telah memiliki kebersihan hati dan ketulusan cinta kepada Allah Swt.
Ada satu hadits yang termasuk dhaif, namun dalam hal ini bisa diambil hikmahnya. Usai perang Badr yang terkenal sebagai salah satu perang terbesar dalam sejarah Islam, seorang sahabat mengatakan, “Kita baru saja melakukan peperangan terbesar” Kemudian Rasulullah berkata: “Tidak, perang terbesar adalah perang melawan hawa nafsu”. Meski terbilang hadits dhaif, tak ada salahnya jika kita sepintas “sepakat” bahwa mengendalikan hawa nafsu tidaklah ringan. Kalaulah kita mau membuka catatan sejarah perjalanan hidup manusia, betapa hawa nafsu sudah terlalu sering mengalahkan manusia, bahkan sejak manusia pertama diciptakan.
Adam alaihi salam yang telah diberikan limpahan nikmat oleh Allah berupa kesenangan dan kebahagiaan hidup di surga yang tak berkekurangan. Masih ditambah nikmat itu dengan dihadirkannya Hawwa sebagai pelengkap hidup yang membawa kedamaian dan ketentraman. Cukupkah Adam? Ternyata tidak. Syetan menggelincirkan dua manusia itu hanya dengan rayuan buah keabadian yang dihembuskan syetan. Adam (juga Hawwa) tak mampu membendung nafsunya untuk tidak menyentuh buah “terlarang” tersebut. Berlanjut kepada keturunan Adam, Qabil tega membunuh saudara kandungnya sendiri Habil demi mendapatkan calon istri Habil yang lebih cantik.
Sejarah juga mencatat nama-nama lain dari zaman ke zaman, Fir’aun dan sederet nama haus kekuasaan di muka bumi ini akan selalu menjadi catatan hitam keserakahan manusia. Begitu juga dengan Qarun dan sejumlah nama orang-orang yang rakus harta. Seiring bergulirnya masa, nafsu manusia pun terus berkembang dan semakin tak terkendalikan. Sedikit punya kuasa, ingin punya harta dan kemudian wanita. Terus dan terus meningkat, ingin meningkatkan kekuasaannya, melebihkan hartanya dan memperbanyak wanitanya. Tidak berhenti sampai disitu, kenikmatan dunia yang telah memalingkannya dari Allah membuatnya cinta akan dirinya, cinta akan dunianya. Dan itu akan melambungkan dirinya kepada kesombongan, dan mengagungkan harga diri yang diukur dengan parameter kekuasaan, kekayaan, kecantikan, ketampanan dan ukuran materi lainnya.
Hingga saat ini, takkan pernah terhitung jumlah orang-orang yang pernah terjerumus dan akhirnya jatuh oleh karena memperturutkan nafsunya. Namun demikian, jangan lupa bahwa sejarah pun mencatat dengan tinta emas orang-orang yang menang melawan hawa nafsunya. Orang tentu tak akan lupa dengan nama Yusuf alaihi salam yang menampik rayuan Zulaikha yang cantik jelita, Ali bin Abi Thalib yang urung menebas leher musuhnya setelah sang musuh meludahi wajahnya. Alasannya, ia tak ingin amarah dan nafsunya yang menjadi alasan utama saat ia menghujamkan pedangnya. Siapa yang tak ingat betapa besar kecintaan Abu Bakar kepada Allah dan rasul-Nya sehingga menginfakkan semua harta miliknya hingga tak tersisa untuk perjuangan Islam.
Manusia bisa menjadi sangat mulia karena menahan dan mengendalikan nafsunya. Sebaliknya, manusia mulia pun akan teramat hina dan menjijikkan ketika sedetik saja tak kuasa mengendalikan nafsu. Sebagai contoh, amarah, yang merupakan satu bagian kecil dari semua hawa nafsu yang ada pada diri manusia, akan sangat berpotensi membuat seseorang menjadi sangat hina. Orang yang tak dapat mengendalikan amarahnya, akan terlihat seperti orang bodoh, bahkan gila. Dan ujungnya, bisa dipastikan adalah penyesalan.
Pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan sejumlah peristiwa lain yang terjadi di muka bumi ini, sumber utamanya adalah nafsu yang tak terkendali. Oleh karenanya, jangan pernah menyepelekan pentingnya menata hati, membersihkan jiwa dan mengendalikan diri. Karena bukan tak mungkin, pada saat lengah, orang baik dan mulia pun bisa tersungkur oleh sebab nafsu yang tak terkendali itu.
Soal memaafkan misalnya, kenapa hanya dengan memaafkan manusia menjadi lebih mulia? Jawabannya tentu sudah menjadi jelas sekarang. Ketika seseorang memperturutkan nafsunya dan tak mempu menahan amarahnya, saat itulah pintu terbuka bagi masuknya syetan ke dalam hati manusia untuk terus memanasi setiap relung di dalamnya. Hingga pada hitungan detik berikutnya, saat api amarah menyala, tak pelak lagi balasan terhadap perlakuan orang lain yang dilakukan biasanya jauh lebih besar, dan lebih menyakitkan. Disinilah syetan berperan menciptakan ketidakadilan, dan kemudia ia juga yang menghembuskan aroma ketidakadilan tersebut kepada lawannya untuk membalas kembali ketidakadilan itu dan seterusnya. Pada akhirnya, syetan akan tertawa melihat dua anak, dua kelompok manusia saling baku hantam.
Padahal, kalau saja ia mau memaafkan kesalahan (atau kezhaliman) orang lain, sikap itu tentu tidak akan menjatuhkan derajatnya dimata orang yang menzhaliminya. Seperti halnya Rasulullah yang kerap memaafkan orang yang meludahinya setiap hari, derajatnya tak pernah jatuh sekalipun ia justru menjadi orang yang pertama menjenguk ketika si peludah itu menderita sakit.
Itu baru sekedar masalah maaf memaafkan, bukankah jauh lebih mulia orang-orang yang tak serakah harta, mereka yang tak ambisi kekuasaan dan jabatan, juga pria-pria dan wanita yang tak memperturutkan syahwatnya pada jalan yang halal? Adakah yang lebih mulia dari orang-orang yang mampu menahan dan mengendalikan nafsunya karena takut kepada Allah?
Hawa nafsu, dari yang kecil seperti bangga diri, tak mampu menahan amarah serta tak mau memaafkan kesalahan orang, sampai yang besar seperti rakus harta, kekuasaan dan juga nafsu syahwat. Semuanya adalah karena kelengahan kita yang membiarkan pintu-pintu hati ini terbuka bagi masuknya syetan yang memang senantiasa menantinya celah kelengahan manusia.
Cinta yang tulus kepada Allah akan membuahkan cinta dan kasih sayang yang juga tulus dari Allah kepada hamba-Nya. Dan dengan cinta dan kasih sayang yang Allah tanamkan itulah, manusia mencintai, mengasihi juga menyayangi sesama makhluk. Jika yang demikian yang dimiliki oleh manusia selaku hamba Allah, tidak akan pernah cinta berubah menjadi amarah, tak akan pernah kasih dan sayang tertandingi oleh ganasnya hawa nafsu. Orang yang marah hanya karena kekhilafan manusiawi orang lain, berarti ia hanya mencintai dirinya sendiri. Salah satu parameter orang yang mencintai dirinya sendiri adalah, terluka, terhina, atau menaruh dendam terhadap orang yang menyakitinya, menzhaliminya, atau mengkhianatinya. Hamba yang dipenuhi hatinya dengan kasih tulus dari dan karena Allah, tidak akan ada ruang kosong dalam hatinya untuk rasa benci, amarah, apalagi dendam. Jika untuk hal kecil saja tak ada ruang, apatah lagi untuk nafsu-nafsu besar lainnya.
Seandainya David J Schwartz adalah seorang muslim, tentunya dia akan menjadikan Rasulullah dan sederet nama-nama yang memenangkan hawa nafsunya sebagai refrens dalam bukunya yang amat terkenal, “Berpikir dan berjiwa besar”.
Selain terus menanamkan cinta tulus kepada Allah, sejatinya kita senantiasa menjaga agar hati ini terus terlindungi agar tak kotor, agar tak terbuka celah masuknya syetan yang menggerogoti benteng-benteng ketegaran di dalamnya. Menentramkan hati dengan dzikir (mengingat Allah) sebagai bukti cinta seseorang terhadap Dzat yang dicintainya, adalah terapi yang tak terbantahkan setiap orang yang mendambakan ketenangan hidup. Selain dzikir, qona’ah dan ikhlas dalam menjalani hidup semestinya juga menjadi modal utama ditengah ganasnya terpaan nafsu yang terus dipanas-panasi oleh syetan.
Setelah itu, tak ada lagi yang menjadi kepuasan dari seorang hamba di dalam hidupnya ketika kelak mengakhiri hidup tetap dalam kemuliaan. Sehingga meski tak sedikitpun terbetik niat mengukir nama dalam sejarah manusia yang memenangkan pertarungan melawan hawa nafsu, siapapun yang mengenalnya akan tetap menjadikannya figur dan teladan yang pantas untuk diikuti jejaknya, jika ingin mendapatkan kemuliaan dihadapan Allah. (Bayu Gautama, thanks 4N)
Home »
» Cinta Versus Nafsu
Cinta Versus Nafsu
Written By Cahaya Hati on Kamis, 11 Desember 2008 | 22.37
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar